Sandur, seni yang distigma PKI kini bangkit setelah terkubur

Di antara ragam seni tradisi Indonesia, Sandur mungkin menjadi salah satu nama yang paling slot terbaru jarang terdengar, terutama di generasi muda. Namun, seni pertunjukan rakyat ini menyimpan kisah panjang yang menyentuh sejarah, politik, stigma, dan kini—kebangkitan. Sandur, yang dahulu hidup dalam denyut masyarakat Jawa Timur sebagai ekspresi budaya dan spiritual, sempat terkubur dalam ketakutan dan prasangka akibat keterkaitannya dengan stigma Partai Komunis Indonesia (PKI). Kini, setelah puluhan tahun senyap, Sandur perlahan bangkit, menuntut tempatnya kembali dalam panggung kebudayaan nasional.

Asal-Usul dan Ciri Khas Sandur

Sandur adalah seni pertunjukan rakyat yang berkembang di wilayah Jawa Timur, khususnya di daerah Bojonegoro, Tuban, dan sekitarnya. Ia merupakan perpaduan antara tari, musik tradisional, nyanyian, dan dialog. Sandur dimainkan oleh sekelompok seniman, sering kali dalam bentuk kelompok sandur, yang tampil secara kolosal dan interaktif dengan penonton. Cerita-ceritanya biasanya mengangkat tema kehidupan sehari-hari, mitologi lokal, kritik sosial, hingga spiritualitas.

Keunikan Sandur terletak pada kesederhanaannya—alat musik yang digunakan pun tidak mewah, hanya kendang, kenong, gong, dan alat petik sederhana. Namun, kekuatan utamanya ada pada narasi yang membumi dan komunikasi langsung dengan masyarakat. Tak heran, Sandur pernah menjadi salah satu media penyadaran sosial dan pendidikan politik di akar rumput.

Stigma PKI dan Kemunduran Sandur

Masalah bermula pada dekade 1960-an, saat PKI mulai memperkuat pengaruhnya melalui jalur kebudayaan. Banyak kelompok kesenian rakyat kala itu, termasuk Sandur, mendapatkan dukungan dari organisasi kebudayaan seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang berada di bawah naungan PKI. Sandur menjadi alat kampanye ideologis sekaligus media pengorganisasian massa.

Namun, tragedi 1965 mengubah segalanya. Setelah peristiwa G30S, segala hal yang diasosiasikan dengan PKI mengalami penindasan sistematis. Sandur, karena jejak sejarahnya dengan Lekra, ikut terseret. Banyak pelaku seni Sandur ditangkap, diasingkan, atau bahkan dibunuh. Kelompok-kelompok Sandur dibubarkan, peralatan disita, dan pertunjukannya dilarang. Nama Sandur seakan menjadi kutukan. Masyarakat enggan mengakui, apalagi melestarikannya, karena takut dicap komunis.

Kebangkitan dari Kubur

Setelah lebih dari lima dekade, angin perubahan mulai berembus. Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak era reformasi dan keterbukaan informasi, Sandur kembali dibicarakan. Beberapa akademisi, budayawan, dan komunitas lokal mulai menggali kembali warisan budaya ini. Mereka menyadari bahwa Sandur bukanlah milik ideologi politik tertentu, melainkan warisan seni yang merekam denyut nadi masyarakat kecil di pedesaan.

Baca Juga:  Shakira Mengandalkan Chris Martin Setelah Putus dengan Gerard Piqué

Kebangkitan ini tidak lepas dari peran seniman-seniman lokal yang gigih memperjuangkan kelestarian Sandur. Di Bojonegoro, misalnya, komunitas budaya mulai menggelar pentas Sandur dalam acara adat dan festival rakyat. Pemerintah daerah pun mulai memberi dukungan, meski masih terbatas, dengan menjadikan Sandur sebagai bagian dari pelestarian budaya tak benda.

Lebih dari sekadar pertunjukan, kebangkitan Sandur adalah bentuk perlawanan terhadap pelupaan sejarah. Ia mengajak publik untuk meninjau ulang narasi-narasi masa lalu yang selama ini ditulis secara sepihak. Sandur membuktikan bahwa kesenian tidak bisa dibungkam selamanya—bahwa suara rakyat, seberapapun kecilnya, akan menemukan jalannya untuk bersuara kembali.

Sandur di Mata Generasi Muda

Tantangan kebangkitan Sandur di era sekarang bukan hanya soal stigma politik, tetapi juga daya tarik di mata generasi muda. Di tengah gempuran budaya pop global dan digitalisasi, seni tradisional seperti Sandur perlu menemukan cara baru untuk relevan. Beberapa komunitas telah mencoba mengemas Sandur dengan pendekatan kontemporer—misalnya, dengan menyisipkan isu-isu modern dalam narasi, merekam pertunjukan dan menyebarkannya melalui media sosial, hingga membuat dokumenter dan podcast yang membahas sejarahnya.

Upaya ini mendapat sambutan yang cukup positif. Generasi muda, terutama yang tertarik pada sejarah alternatif dan budaya lokal, mulai menunjukkan ketertarikan. Mereka tidak hanya menjadi penonton, tapi juga terlibat sebagai dokumentator, penulis, bahkan pelaku.

Penutup: Saatnya Memulihkan Memori Budaya

Sandur bukan hanya seni pertunjukan. Ia adalah saksi bisu dari sejarah panjang rakyat kecil yang berkesenian, bersuara, dan bertahan. Kebangkitannya hari ini adalah peluang untuk memulihkan memori kolektif bangsa yang selama ini terkubur di bawah stigma dan ketakutan. Sandur mengajarkan bahwa seni bukan hanya soal hiburan, tetapi juga identitas, keberanian, dan kebebasan berekspresi.

Sudah waktunya kita melihat Sandur bukan sebagai peninggalan masa kelam, melainkan sebagai warisan budaya yang layak dirayakan dan dilestarikan. Dengan membuka ruang bagi Sandur, kita bukan hanya menyelamatkan seni tradisi, tetapi juga memberi ruang bagi sejarah untuk berbicara lebih jujur.