Biografi Barli Sasmitawinata Serta Awal Karir, Aliran, Karya, Dan Prestasi

Biografi Barli Sasmitawinata

Barli Sasmitawinata adalah salah satu seniman besar Indonesia yang lahir di Bandung 18 Maret 1921. Ia adalah seniman yang memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan Seni Rupa Indonesia. Kontribusinya dalam dunia pendidikan seni rupa sangatlah besar, baik pada lembaga nonformal, maupun lembaga formal. Boleh dikatakan Barli juga menjadi “spesimen” penting seniman Indonesia. Mengapa? Karena Ia melewati dua titik sambung periode dimana pergolakan sedang terjadi di Indonesia.

Seperti yang dikatakan oleh Jim Supangkat dalam buku Titik Sambung mengenai Barli: “Tidak ada pelukis Indonesia lain yang seposisi dengan Barli Sasmitawinata. Pelukis ini contoh amung dalam sebuah babak perkembangan seni lukis Indonesia. Ia satu-satunya pelukis yang berada pada ‘titik sambung’ dua gugus perkembangan seni lukis Indonesia, yaitu seni lukis masa kolonial dan seni lukis modern Indonesia”.

Awal Karir Barli Sasmitawinata

Perjalanan karir berkesenian Barli dimulai dari sejak tahun 1930-an dengan menjadi ilustrator di Balai Pustaka, Jakarta. Barli juga sempat menjadi ilustrator untuk media masa yang terbit di Bandung. Keterampilan tersebut masih berlanjut sampai dia berkesempatan untuk sekolah di luar negeri. Ketika berada di luar negeri pun, Barli diangkat menjadi ilustrator majalah De Moderne Boekhandel di Amsterdam, dan majalah Der Lichtenbogen di Recklinghausen, Jerman. Barli merupakan salah satu contoh seniman yang mendapatkan pendidikan ideal dari usia muda hingga berkesempatan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di Perancis dan Belanda.

Pendidikan Barli

Barli mulai mendapatkan pelatihan seni atas dukungan dari kakak iparnya, yang memintanya untuk belajar melukis di studio Jos Pluimentz, seorang pelukis asal Belgia yang tinggal di Bandung. Di sana ia belajar berbagai teknik-teknik melukis realis dan menjadi satu-satunya murid pribumi yang belajar bersama Pluimentz.

Studio Jos Pluimentz

Barli mendapatkan pelatihan teknik menggambar objektif, dalam artian untuk belajar bagaimana cara seniman melihat berbagai objek dan subjek yang dilukisnya untuk kemudian diimplementasikan pada karya lukisnya seakurat mungkin. Seperti yang sering dikatakan oleh mentornya, Pluimentz: “cara melihat seniman harus berbeda dengan orang biasa”. Saat itu juga aliran seni yang menekankan pada kemiripan objek seperti Realisme dan Naturalisme memang sedang hangat-hangatnya. Selain belajar pada Pluimentz di sana juga Barli Sasmitawinata berkesempatan untuk belajar pada Luigi Nobili, seorang pelukis asal Italia. Di sini juga ia bertemu dengan Affandi yang sedang menjadi model lukis untuk Nobili. Selain menjadi model Luigi untuk mendapatkan uang tambahan, Affandi juga ikut belajar melukis. Pertemuan ini juga yang akhirnya akan membawa Barli, Affandi dan rekan-rekann yang lainnya membentuk Kelompok Lima Bandung.

Kelompok Lima Bandung

Barli Sasmitawinata bersama Affandi, Hendra Gunawan, Soedarso, dan Wahdi Sumanta, membentuk Kelompok Lima Bandung. Kelompok berkarya sambil belajar bersama yang dipelopori oleh Affandi dan Wahdi. Konon kelompok ini dibentuk atas kekaguman dari Barli dan tiga rekan lainnya di kelompok ini kepada Affandi. Kelompok Lima Bandung adalah salah satu kelompok yang memberikan pengaruh besar terhadap dunia Seni Rupa Indonesia. Tentunya kelompok ini juga mencetak seniman-seniman besar pula.

Berbeda dengan kelompok sejenis di masanya, kelompok ini terhitung lebih santai dan fokus terhadap kegiatan berkarya bersama. Mereka berlima sangat akrab dan sudah seperti saudara. Kontras dengan Affandi yang menyebut dirinya “seniman kerbau”, Barli justru dikenal sebagai seorang akademisi yang sangat menjunjung pentingnya pendidikan seni rupa. Pada tahun 1948 ia mendirikan studio Jiwa Mukti bersama rekannya: Karnedi dan Sartono. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi di Eropa.

Belajar di Eropa

Barli mendapatkan kesempatan untuk belajar di Eropa pada tahun 1950, dia mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Belanda untuk belajar di Academie Grande de la Chaumiere, Paris, Perancis. Setelah itu Barli meneruskan studinya di Rijksacademie voor Beeldende Kunsten, Amsterdam, Belanda, hingga tahun 1956. Sebagai pribumi yang mendapatkan berbagai pengaruh dari luar, Barli membangun karakter khas yang kompleks. Di satu sisi Barli dapat dilihat sebagai seniman yang meneruskan perkembangan seni lukis kolonial. Namun di sisi lain Barli juga merupakan bagian dari pertumbuhan seni lukis modern Indonesia yang ironisnya menentang seni lukis masa kolonial itu sendiri.

Di Eropa, Barli kembali memperoleh banyak pengetahuan teknik melukis realistik. Misalnya mengenai prinsip-prinsip melukis anatomi secara intensif. Pelajaran anatomi untuk pelukis amatlah penting. Pembelajaran seperti ini adalah salah satu kelebihan yang dapat ia peroleh dari luar negeri. Selama dua tahun di Eropa, Barli pernah hingga setiap dua jam dalam sehari hanya menggambar nude untuk mempelajari anatomi manusia lebih dalam. Sesuatu yang tidak dipersoalkan pantas atau tidaknya di Eropa, sebab jika untuk kepentingan akademis semuanya sah asalkan tetap pada tujuannya.

Dari Peserta Didik menjadi Pendidik

Sepulang dari Eropa, di tahun 1958 Barli kembali mendirikan studio Rangga Gempol. Sanggar yang Barli dirikan terus bertahan hingga menjadi Bale Seni Barli di Padalarang. Barli adalah seniman sekaligus guru. Ia sempat mengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB). Ia banyak “menerbitkan” murid-murid cermerlang seperti AD Pirous, Huang Fong, dan Chusin. Selain mengajar di ITB, Barli juga merupakan salah satu inisiator berdirinya program studi pendidikan seni rupa di IKIP Bandung yang sekarang menjadi Universitas Pendidikan Indonesia.

Pandangan & Aliran Seni Barli Sasmitawinata

Barli pernah berkata, seorang lulusan akademik seharusnya pasti bisa menggambar manusia. Karena penguasaan teknik akan merangsang inspirasi. Dia menganalogikan pengalaman saat belajar bersepeda yang sulit sekali, sebab salah sedikit saja pasti jatuh. Namun ketika sudah menguasai teknik bersepeda, maka sesorang bisa terus mengayuh sambil memikirkan hal lain tanpa memikirkan lagi caranya mengayuh. Melukis pun disebutkannya mirip dengan proses tersebut jika sudah mengetahui tekniknya, maka pelukis dapat menyalurkan perasaan dan ekspresi lainnya dalam berkesenian. Walaupun mendapat pelatihan realistik dan terus berkecimpung menjadi seorang pelukis realis, Barli juga mengerti karya abstrak, menurut pandangannya seni memang abstrak. Seni adalah nilai, bukan hanya wujud fisik, setiap kali melihat karya yang realistik Barli justru tertarik pada segi-segi abstraksinya. Seperti segi-segi penempatan komposisi abstrak yang bahkan tidak bisa dijelaskan oleh pelukisnya sendiri.

Baca Juga:  The Ugly Duchess: Gagasan Penuaan Dan Kecantikan Ditantang Oleh Potret Renaisans Yang Mengganggu

Barli juga menyebutkan, pelukis yang menggambar realistik sesungguhnya sedang melukiskan meaning. Dicontohkannya, jika seorang pelukis melihat seorang kakek maka dia akan tertarik pada umurnya, kemanusiaannya. Sehingga ia akan melukiskannya secara realistik sebab soal umur tidak dapat dilukiskan secara abstrak. Menggambarkan penderitaan manusia akan lebih tersampaikan jika dilukiskan dengan cara realistik daripada secara abstrak. Tidak semua seniman memiliki suatu gaya khas atau prinsip yang digunakan olehnya secara terus-menerus selama hidupnya berkarya. Hal tersebut berlaku apalagi terhadap seniman kontemporer yang biasanya haus berinovasi dan selalu menciptakan formula-formulanya sendiri. Barli berfokus pada teknik realistik, meskipun banyak juga menelurkan beberapa karya yang menggunakan teknik-teknik penyederhanaan figur/objek. Dari fokusnya terhadap teknik realistik, maka Barli Sasmitawinata dapat diasosiasikan dengan aliran Realisme atau Naturalisme.

Karya Lukis Barli Sasmitawinata beserta Penjelasannya

Pejuang Napitupulu (1946) oleh Barli Sasmitawinata

Tampak sesosok pria yang mengenakan seragam militer zaman kolonial. Lengkap dengan sabuk yang sekaligus mengikat granat genggam dan senjata. Kumis yang klimis merupakan salah satu ciri khas zaman kolonial yang belakangan menjadi trend juga hari ini di kalangan anak muda. Napitupulu adalah salah satu marga batak yang berasal dari sub-suku Toba. Pada lukisan ini dapat dilihat bagaimana pendidikan di Eropa mempengaruhi teknis dan estetika Barli. Warna bumi (earth tone) digunakan untuk memahat detail lukisan. Efek cahaya yang dramatis juga membangun suasana dari lukisan. Pose bertolak pinggang dilengkapi pandangan mata yang sangar mnunjukan sisi dominan pria agar tampak kontras dengan perempuan. Semua ciri-ciri tersebut sangat akrab dijumpai pada lukisan-lukisan Eropa zaman kolonial. Disini sudah tampak salah satu ciri khas Barli yang tidak ragu untuk menggunakan garis tegas pada sebagian tepian objek lukisannya, meskipun tampak realistik adalah targetnya.

Gadis Bali & Analisis

Gadis cantik yang mengenakan pakaian tradisional sederhana menjadi pilihan model Barli di sini. Kecantikan wajah modelnya dipadukan dengan keindahan bunga yang seakan berkompetisi dalam harmoni. Sesederhana itu pula judul yang ia berikan, yaitu: Gadis Bali. Namun kesederhanaan itu justru memunculkan aura yang kompleks dari ekspresi wajah sang model yang ambigu. Apakah ia sedang bermurung? Bosan? atau justru sedang tidak nyaman karena pegal menjadi model duduk Barli. Apa pun itu adalah cara pandang Barli yang berhasil mengabadikannya menjadi wajah seribu ungkap. Eksekusi yang luar biasa dari teknik Barli yang menjadi sorotan utama disini. Apa yang ditangkap oleh Barli tidak menyisakan ruang pandangan yang sederhana sedikit pun untuk lukisan ini. Detail sempurna wajah, anatomi tubuh yang sangat terbentuk hanya dengan beberapa sapuan kuas, rambut tergerai yang tampak sangat alami, rasanya sulit untuk berhenti memandangi lukisan hanya di satu titik saja. Mata kita rasanya digiring untuk terus menjelajahi setiap sisi yang membentuk keutuhan karya ini.

Di Pasar #1 (2004)

Impresi yang ditampilkan di sini dapat membuat kesal pemirsanya. Apalagi ketika kita sempat memandangnya dari jauh, lalu mendekati untuk mencari detail lebih. Karena hanya goresan kuas kasar yang tampak berantakan yang akan didapat. Namun itu pula yang menjadikannya luar biasa. Bagaimana beberapa sapuan kuas yang sangat spontan ini dapat membangun suasana Pasar dengan sempurna. Meskipun tampak berantakan justru apa yang Barli lakukan sangatlah presisi. Melalui pengalamannya yang telah terasah, suatu representasi fisik dari alam dapat dibuatnya dengan mudah dan cepat tanpa perlu detail lebih.

Prestasi & Penghargaan Barli

Bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-83, pada 18 Maret 2004 beberapa karya lukisnya dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta. Karya yang dipamerkan salah satunya adalah lukisan yang baru diselesaikan hanya beberapa hari sebelum ulang tahunnya, berukuran besar, bahkan lebih dari dua kali dua meter. Pembukaan pameran dilakukan langsung oleh Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika, berlangsung sejak 18 hingga 31 Maret 2004. Pameran tersebut diadakan sebagai bentuk penghargaan dari Pemerintah kepada sang Maestro. PT Pos Indonesia juga turut menunjukkan penghargaan yang sangat tinggi kepada Barli Sasmitawinata. Pos Indonesia menerbitkan prangko yang bergambar lukisan Potret Diri Barli, salah satu lukisan terkenal yang diciptakan oleh Barli pada tahun 1974. Bersamaan dengan pameran perayaan ulang tahun Barli yang ke-83 itu diluncurkan pula sebuah buku karangan Nakisbandiah. Ia adalah istri kedua Barli setelah istri pertamanya meninggal dunia 11 pada Juli 1991. Buku tersebut berjudul “Kehidupanku Bersama Barli”.

Meninggalnya Barli Sasmitawinata

Sebelum meninggal Barli sempat dirawat di rumah sakit selama satu bulan karena berbagai keluhan sakit usia lanjut. Baru pada hari Minggu 4 Februari 2007, Barli pulang ke rumahnya. Selama di rumah, Barli sempat beramanat agar keluarga besar Bale Seni Barli terus memelihara lembaga pendidikan tersebut. Barli juga masih sempat melukis meskipun sedang sakit. Sehari sebelum meninggal ia masih meneruskan lukisannya di kamar. Lukisan yang belum selesai itu bahkan masih belum sempat diberi judul. Barli Sasmitawinata meninggal pada Kamis 8 Februari 2007 sekitar pukul 16.25 di Rumah Sakit Advent, Bandung pada usia 86 tahun. Jenazah disemayamkan di Museum Barli, Bandung. Menurut Hendra, salah satu Guru di Bale Seni Barli, Barli dibawa ke RS Advent pukul 09.00 karena muntah-muntah. Ia meninggal pada pukul 16.25 dan dibawa ke rumah duka pukul 17.30. Banyak kerabat yang berdatangan untuk melayat. Jenazahnya dimakamkan pada hari Jumat 9 Februari 2007 di Taman Makam Pahlawan Cikutra.