Daftar Karya Menakjubkan Seniman Asia Di Singapore Biennale
The Journey of Panji (Eddy Susanto, Indonesia)
The Journey of Panji terdiri dari sebuah gambar yang dibuat di kanvas berukuran besar. Selain gambar, kanvas itu juga ditempeli berbagai jenis huruf yang terbuat dari kayu. Huruf-huruf itu mengalir hingga ke sebuah buku raksasa. Saking melimpahnya huruf yang mengalir, ribuan di antaranya bahkan tumpah ke sisi di luar buku raksasa itu. Siklus Panji ini adalah sebuah koleksi cerita yang berputar di sekitar Pangeran Panji yang legendaris. Cerita ini muncul pertama kali di Jawa pada abad ke-14, namun tersebar hingga zaman modern saat ini di Malaysia, Kamboja, Myanmar, Filipina, dan Thailand. Pada abad terakhir, cerita-cerita ini dikumpulkan menjadi satu jilid berjudul Wangbang Wideya oleh S.O. Robson. “Journey of Panji ini secara signifikan menggambarkan tentang sebuah epik Jawa untuk menceritakan kisah tentang bagaimana Eddy Susanto melihat dunia yang berputar di Asia Tenggara,” ujar Tan Siuli, salah satu pimpinan tim kurator Singapore Art Museum yang fokus soal karya asal Indonesia.
Aftermath (Pannaphan Yodmanee, Thailand)
Dalam mural raksasa berjudul Aftermath ini, Pannaphan mempersembahkan sebuah peta kosmos Buddha yang mirip dengan sebuah lukisan lanskap. Menggunakan material baku dan natural, penggabungan seni kontemporer dan tradisional Thailand menciptakan sebuah penyatuan kartografi surga dan bumi yang menceritakan sejarah Asia Tenggara.
“Melalui karya ini, Pannaphan ingin menceritakan soal tiga dunia, yakni dunia bawah (neraka), dunia saat ini (recent world), dan akhirat (afterworld). Jadi gambar-gambar ini bercerita soal awal negara-negara Asia Tenggara yang berjaya dengan kekayaan maritim, kemudian didatangi penjajah yang menanamkan budaya mereka,” ujar Tan Siuli.
Karagatan, The Breadth of Oceans (Gregory Halili, Filipina)
Menggemakan misteri cermin, instalasi menggugah ini memberikan sebuah sentuhan puitis: saat melihat karya ini, karya ini secara mengerikan melihat kembali padamu. Karagatan memotret mata para penduduk pedesaan di pesisir pantai di Filipina. Mulai dari nelayan, penyelam mutiara, pembuat perahu, pedagang kerang, hingga anak kecil yang ditemui Halili saat mengerjakan proyeknya ini. Sebagai miniatur, hasil karya ini memanfaatkan sebuah tradisi kudus yang diasosiasikan dengan pengadilan kerajaan. Namun, di sini, potret-potret mini ini memetakan sebuah komunitas pesisir yang bekerja untuk memanen karunia laut, namun jarang menuai kekayaan. Halili membayar penghormatan kepada orang-orang yang takdir dan rezekinya bergantung kepada laut, menggambar kebahagiaannya pada induk mutiara yang diperoleh dari dalam laut. Jika dilihat dari jauh, deretan ‘mata’ masyarakat pesisir pantai Filipina ini akan terlihat seperti deretan kapal di tengah samudra yang tengah mencari hasil laut di malam hari.
One Has to Wander through All the Outer Worlds to Reach the Innermost Shrine at the End (Qiu Zhijie, China)
Dalam peta ciptaannya, Qiu mengadopsi sebuah metodologi yang menggabungkan pengalaman sehari-hari serta pendekatan filosofis untuk berpikir dengan grafis, dan mengatur hubungan serta sistem pengetahuan. Serial peta ini menampilkan investigasi Qiu ke dalam sejarah kartografi. Dari analisis arkeologi tentang teori kontak PreColumbian trans-oceanic, hingga kesisteman motif, logika dan metode pendekatan pembuatan peta yang berbeda-beda. Ia menyatukan sejarah, filosofi, mitologi, dan ilmu pengetahuan secara bersama-sama. Dalam karya ini, sang artis mengemukakan dua elemen yang mendasari hubungan antara pulau hantu, Utopia, dan monster-monster: ketakutan dan godaan. Ketika para petualang dan penjelajah awal ditarik ke tanah yang jauh nan misterius, perjalanan mereka, seperti yang diceritakannya, seringkali terganggu saat mereka bertemu dengan makhluk-makhluk aneh dan luar biasa. Instalasi Qiu ini juga menampilkan hasil pahatan kaca indah berbentuk monster-monster fantastis yang dibayangkan tengah melintas di antara pegunungan dan lautan seraya menyihir sebuah dunia misteri yang mungkin pernah ada di luar sana namun sekarang telah menghilang.
The Great East Indiaman (David Chan, Singapura)
Mencampuradukkan fakta dan fiksi, The Great East Indiaman mengingatkan kembali akan mendaratnya Sir Stamford Raffles pada 1819 yang kemudian menyebabkan berdirinya Singapura yang modern. Di lokasi kemenangan tokoh pria protagonis asal Eropa ini, Chan ingin menyusun kembali narasi tersebut sebagai suatu kisah fantastis dari sebuah spesies paus, yang dulunya adalah mitos dan sekarang telah punah, yang membawa Raffles ke semenanjung ini. Dalam cerita rakyat yang dibuat ini, spesies paus yang disebut “East Indiaman” itu dijinakkan sebagai binatang laut milik manusia dengan beban. Meskipun demikian, kisah orisinal Chan juga didasarkan pada penelitian sejarah yang kuat: dari abad ke-17 hingga ke-19, East Indiaman adalah nama generik untuk setiap kapal milik English East India Company, dan itu berada di salah satu kapal dagang yang dipakai Raffles untuk berlayar mencapai Singapura. Kreasi ini terbuat dari baja yang dilas dan beton berukuran 2,4 x 0,5 x 1,8 meter. Karya yang diletakkan di depan pekarangan National Museum of Singapore itu juga mengingatkan pengunjung akan kerangka seekor paus sirip India yang pernah menjadi ‘ikon’ museum itu, sebelum akhirnya dikembalikan di negara asalnya, Malaysia.